Prasasti Kota Kapur Sejarah Pertama Palembang Sriwijaya
Siapa yang tidak mengenal Prasasti Kota Kapur? Prasasti legendaris ini berbentuk tugu segi enam tidak beraturan yang mengecil ke bagiaan atas, terbuat dari batu andesit dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar bagian atas 19 cm, dan 32 cm di bagian bawah.
Di prasasti ini terdapat Tulisan pada permukaan yang terdiri dari 10 baris yang ditulis secara vertikal dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
Pola tulisan tersebut sangat unik dan bernilai seni, Jika prasasti diposisikan berdiri maka pembacaan dimulai dari atas ke bawah sedangkan bila dalam posisi tidur tulisan dibaca dari kiri ke kanan.
Kemudian Pada baris terakhir tercantum keterangan mengenai tarikh pembuatan prasasti yang menunjukkan angka tahun 608 Saka atau 28 April 686 Masehi.
Prasasti Kota Kapur dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892 di dekat sungai Menduk Kota Kapur, Pangkal Mundo, pantai barat Pulau Bangka, Desa Penangan, Kecamatan Mendo Darat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Prasasti ini merupakan prasasti kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan.
Prasasti Kota Kapur dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892 di dekat sungai Menduk Kota Kapur, Pangkal Mundo, pantai barat Pulau Bangka, Desa Penangan, Kecamatan Mendo Darat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Prasasti ini merupakan prasasti kerajaan Sriwijaya yang pertama kali ditemukan.
Berdasarkan prasasti inilah pengetahuan sejarah Sriwijaya bermula setelah para ahli melakukan penelitian terhadap isi tulisannya. Peneliti pertama yang menganalisis prasasti ini adalah Hendrik Kern, seorang ahli epigrafi berkebangsaan Belanda.
Dalam artikelnya “De Inscriptie van Kota Kapur” (1913), Kern masih menganggap bahwa Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti tersebut adalah nama seorang raja karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja diikuti nama raja yang bersangkutan.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh George Coedes dalam karangannya “Le royaume de Crivijaya (1918) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah Kerajaan.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh George Coedes dalam karangannya “Le royaume de Crivijaya (1918) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah Kerajaan.
Sementara itu dalam terjemahan prasasti Kota Kapur oleh Kern di mana terdapat nama Sriwijaya dan terjemahan karya I-tsing di mana terdapat transkripsi Tionghoa Shih-li-fo-shih memungkinkan Coedes menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama kerajaan di Sumatera. Selain itu, Coedes juga mengemukakan pendapatnya dengan menetapkan Palembang sebagai ibu kota Sriwijaya.
Pada 1930-an, penemuan Cœdès dirayakan sama meriahnya oleh para politikus pergerakan maupun arkeolog. Sukarno dan Mohammad Yamin adalah di antara yang paling serius memanfaatkan Sriwijaya sebagai lambang keagungan masa lampau Indonesia. Penemuan lambang baru yang merupakan kerajaan yang berpusat di Sumatera, menawarkan semacam keseimbangan untuk menangkis kritik-kritik tentang dominasi Jawa dalam mengimajinasikan bangsa yang hendak dibentuk karena dominannya pengambaran Majapahit.
Sriwijaya menyusul Majapahit dalam menginspirasi Indonesia. Inilah yang dijumpai dalam rekonstruksi kultural dan pembentukan situasi intelektual di sekitar proses lahirnya nasionalisme dan bangsa Indonesia. Sukarno berdiri di garis terdepan mempertahankan pendapat bahwa secara politis bangsa Indonesia baru lahir, tetapi secara kultural ia sudah ada sejak lama. Pada 1930, di dalam pidato Indonesia Menggugat yang dibacakan di depan pengadilan kolonial di Bandung, Sukarno menempatkan Sriwijaya dalam trilogi sejarahnya di posisi pertama: “zaman lampau yang gemilang".
Sukarno menegaskan kembali konsepnya ini saat pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Dikatakannya sebelum ada negara nasional Indonesia “kita hanya dua kali mengalami nationale staat". Sriwijaya adalah nationale staat yang pertama dan Majapahit yang kedua.
Pada 1930-an, penemuan Cœdès dirayakan sama meriahnya oleh para politikus pergerakan maupun arkeolog. Sukarno dan Mohammad Yamin adalah di antara yang paling serius memanfaatkan Sriwijaya sebagai lambang keagungan masa lampau Indonesia. Penemuan lambang baru yang merupakan kerajaan yang berpusat di Sumatera, menawarkan semacam keseimbangan untuk menangkis kritik-kritik tentang dominasi Jawa dalam mengimajinasikan bangsa yang hendak dibentuk karena dominannya pengambaran Majapahit.
Sriwijaya menyusul Majapahit dalam menginspirasi Indonesia. Inilah yang dijumpai dalam rekonstruksi kultural dan pembentukan situasi intelektual di sekitar proses lahirnya nasionalisme dan bangsa Indonesia. Sukarno berdiri di garis terdepan mempertahankan pendapat bahwa secara politis bangsa Indonesia baru lahir, tetapi secara kultural ia sudah ada sejak lama. Pada 1930, di dalam pidato Indonesia Menggugat yang dibacakan di depan pengadilan kolonial di Bandung, Sukarno menempatkan Sriwijaya dalam trilogi sejarahnya di posisi pertama: “zaman lampau yang gemilang".
Sukarno menegaskan kembali konsepnya ini saat pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Dikatakannya sebelum ada negara nasional Indonesia “kita hanya dua kali mengalami nationale staat". Sriwijaya adalah nationale staat yang pertama dan Majapahit yang kedua.